Disusun Oleh
Kelompok
4 Kelas XI IPS 2 SMA Xaverius 1 Palembang
Nama Anggota:
1. Angelika
Selin Afandi (03)
2. Felicia
Chandra (12)
3. Gabriela
Christiani S (15)
4. Levina
Agnesia (21)
5. Metta
Phannadhika (25)
Dalam beberapa waktu terakhir, isu
tentang konflik Rohingya di Myanmar kembali mencuat ketika ribuan pengungsi
Rohingya dari Myanmar terdampar di Aceh setelah diselamatkan para nelayan.
Berita-berita tentang konflik etnis di Rakhine, salah satu negara bagian
Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh ini pun kembali bermunculan dan
menjadi topik hangat di berbagai media sosial setelah sebelumnya sempat
tenggelam sejak pemberitaan terakhir tentang kerusuhan etnis tersebut pada
tahun 2012 yang silam. Lebih parahnya, banyak pihak yang mengaitkan
permasalahan ini sebagai konflik agama tanpa mengetahui latar belakang masalah
yang sebenarnya yang telah terjadi ratusan tahun yang lampau. Oleh sebab itu,
tulisan ini akan menilik kembali sejarah konflik di Rakhine tersebut sehingga
akar permasalahannya menjadi lebih jelas bagi kita semua.
Berdasarkan catatan sejarah, komunitas
Muslim telah mendiami wilayah Arakan (nama kuno Rakhine) sejak masa
pemerintahan seorang raja Buddhis bernama Narameikhla atau Min Saw Mun
(1430–1434) di kerajaan Mrauk U. Setelah diasingkan selama 24 tahun di
kesultanan Bengal, Narameikhla mendapatkan tahta di Arakan dengan bantuan dari
Sultan Bengal saat itu. Kemudian ia membawa serta orang-orang Bengali untuk
tinggal di Arakan dan membantu administrasi pemerintahannya; demikianlah
komunitas Muslim pertama terbentuk di wilayah itu.
Saat itu kerajaan Mrauk U berstatus
sebagai kerajaan bawahan dari kesultanan Bengal sehingga Raja Narameikhla
menggunakan gelar dalam bahasa Arab termasuk dalam nama-nama pejabat istananya
dan memakai koin Bengal yang bertuliskan aksara Arab Persia pada satu sisinya
dan aksara Burma pada sisi lainnya sebagai mata uangnya. Setelah berhasil
melepaskan diri dari kesultanan Bengal, para raja keturunan Narameikhla tetap
menggunakan gelar Arab tersebut dan menganggap diri mereka sebagai sultan serta
berpakaian meniru sultan Mughal. Mereka tetap mempekerjakan orang-orang Muslim
di istana dan walaupun beragama Buddha, berbagai kebiasaan Muslim dari Bengal
tetap dipakai. Pada abad ke-17 populasi Muslim meningkat karena mereka
dipekerjakan dalam berbagai bidang kehidupan, tidak hanya dalam pemerintahan
saja. Suku Kamein, salah satu etnis Muslim di Rakhine yang diakui pemerintah
Myanmar saat ini, adalah keturunan orang-orang Muslim yang bermigrasi ke Arakan
pada masa ini.
Namun kerukunan dan keharmonisan ini
tidak berlangsung lama. Pada tahun 1785 kerajaan Burma dari selatan menyerang
dan menguasai Arakan; mereka menerapkan politik diskriminasi dengan mengusir
dan mengeksekusi orang-orang Muslim Arakan. Pada tahun 1799 sebanyak 35.000
orang Arakan mengungsi ke wilayah Chittagong di Bengal yang saat itu dikuasai
Inggris untuk mencari perlindungan. Orang-orang Arakan tersebut menyebut diri
mereka sebagai Rooinga (penduduk asli Arakan), yang kemudian dieja menjadi
Rohingya saat ini. Selain itu, pemerintah kerajaan Burma saat itu juga
memindahkan sejumlah besar penduduk Arakan ke daerah Burma tengah sehingga
membuat populasi wilayah Arakan sangat sedikit ketika Inggris menguasainya.
Pada tahun 1826 wilayah Arakan diduduki
oleh pemerintah kolonial Inggris setelah perang Inggris-Burma I (1824-1826).
Pemerintah Inggris menerapkan kebijakan memindahkan para petani dari wilayah
yang berdekatan ke Arakan yang saat itu sudah ditinggalkan, termasuk
orang-orang Rohingya yang sebelumnya mengungsi dan orang-orang Bengali asli
dari Chittagong. Saat itu wilayah Arakan dimasukkan dalam daerah administrasi
Bengal sehingga tidak ada batas internasional antara keduanya dan migrasi
penduduk di kedua wilayah itu terjadi dengan mudah.
Pada awal abad ke-19 gelombang imigrasi
dari Bengal ke Arakan semakin meningkat karena didorong oleh kebutuhan akan
upah pekerja yang lebih murah yang didatangkan dari India ke Burma. Seiring
waktu jumlah populasi para pendatang lebih banyak daripada penduduk asli
sehingga tak jarang menimbulkan ketegangan etnis. Pada tahun 1939 konflik di
Arakan memuncak sehingga pemerintah Inggris membentuk komisi khusus yang
menyelidiki masalah imigrasi di Arakan, namun sebelum komisi tersebut dapat
merealisasikan hasil kerjanya, Inggris harus angkat kaki dari Arakan pada akhir
Perang Dunia II.
Pada masa Perang Dunia II Jepang
menyerang Burma dan mengusir Inggris dari Arakan yang kemudian dikenal sebagai
Rakhine. Pada masa kekosongan kekuasaan saat itu, kekerasan antara kedua
kelompok suku Rakhine yang beragama Buddha dan suku Rohingya yang beragama
Muslim semakin meningkat. Ditambah lagi, orang-orang Rohingya dipersenjatai
oleh Inggris guna membantu Sekutu untuk mempertahankan wilayah Arakan dari
pendudukan Jepang. Hal ini akhirnya diketahui oleh pemerintah Jepang yang
kemudian melakukan penyiksaan, pembunuhan dan pemerkosaan terhadap orang-orang
Rohingya. Selama masa ini, puluhan ribu orang Rohingya mengungsi keluar dari
Arakan menuju Bengal. Kekerasan yang berlarut-larut juga memaksa ribuan orang
Burma, India dan Inggris yang berada di Arakan mengungsi selama periode ini.
Pada tahun 1940-an orang-orang Rohingya
berusaha menjalin kerjasama dengan Pakistan di bawah Mohammad Ali Jinnah untuk
membebaskan wilayahnya dari Burma, tetapi ditolak oleh pemimpin Pakistan
tersebut karena tidak mau mencampuri urusan internal negeri Burma. Pada tahun
1947 orang-orang Rohingya membentuk Partai Mujahid yang merupakan kelompok
jihad untuk mendirikan negara Muslim yang merdeka di Arakan utara. Mereka
menggunakan istilah Rohingya sebagai identitas politik mereka dan menyatakan
diri sebagai penduduk asli Arakan. Kemudian Burma merdeka pada tahun 1948 dan
orang-orang Rohingya semakin gencar melancarkan gerakan separatisnya.
Pada tahun 1962 Jenderal Ne Win
melakukan kudeta dan mengambil alih pemerintahan Myanmar. Ia melakukan operasi
militer untuk meredam aksi separatis Rohingya. Salah satu operasi militer yang
dilancarkan pada tahun 1978 yang disebut "Operasi Raja Naga"
menyebabkan lebih dari 200.000 orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh akibat
kekerasan, pembunuhan dan pemerkosaan besar-besaran. Pemerintah Bangladesh
menyatakan protes atas masuknya gelombang pengungsi Rohingya ini. Pada bulan
Juli 1978 setelah dimediasi oleh PBB, pemerintah Myanmar menyetujui untuk
menerima para imigran Rohingya untuk kembali ke Rakhine. Pada tahun 1982
pemerintah Bangladesh mengamademen undang-undang kewarganegaraannya dan
menyatakan Rohingya bukan warga negara Bangladesh.
Sejak tahun 1990 sampai saat ini,
pemerintah junta militer Myanmar masih menerapkan politik diskriminasi terhadap
suku-suku minoritas di Myanmar, termasuk Rohingya, Kokang dan Panthay. Para
pengungsi Rohingya melaporkan mereka mengalami kekerasan dan diskriminasi oleh
pemerintah seperti bekerja tanpa digaji dalam proyek-proyek pemerintah dan
pelanggaran HAM lainnya.
Pada tahun 2012 kerusuhan rasial pecah
antara suku Rakhine dan Rohingya yang dipicu oleh pemerkosaan dan pembunuhan
seorang gadis Rakhine oleh para pemuda Rohingya yang disusul pembunuhan sepuluh
orang pemuda Muslim dalam sebuah bus oleh orang-orang Rakhine. Menurut
pemerintah Myanmar, akibat kekerasan tersebut, 78 orang tewas, 87 orang
luka-luka, dan lebih dari 140.000 orang terlantar dari kedua belah pihak baik
suku Rakhine maupun Rohingya. Pemerintah menerapkan jam malam dan keadaan
darurat yang memungkinkan pihak militer bertindak di Rakhine. Walaupun para
aktivitis LSM Rohingya menuduh bahwa pihak kepolisian dan kekuatan militer
turut berperan serta dalam kekerasan dan menangkap orang-orang Rohingya, tetapi
penyelidikan oleh organisasi International Crisis Group melaporkan bahwa kedua
belah pihak mendapatkan perlindungan dan keamanan dari pihak militer.
Pada tahun 2014 pemerintah Myanmar
melarang penggunaan istilah Rohingya dan mendaftarkan orang-orang Rohingya
sebagai orang Bengali dalam sensus penduduk saat itu. Pada bulan Maret 2015
yang lalu pemerintah Myanmar mencabut kartu identitas penduduk bagi orang-orang
Rohingya yang menyebabkan mereka kehilangan kewarganegaraannya dan tidak
mendapatkan hak-hak politiknya. Ini menyebabkan orang-orang Rohingya mengungsi
ke Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Demikianlah sekilas tentang sejarah
konflik etnis yang berangkat dari permasalahan sosial politik yang telah
berakar selama berabad-abad di wilayah Rakhine. Bagaimana pun, konflik ini
hanyalah menyebabkan kesengsaraan pihak-pihak yang bertikai. Oleh sebab itu,
setelah mengetahui akar permasalahan konflik ini, semoga para pemimpin dunia
dan pihak-pihak yang bersangkutan dapat memberikan solusi yang terbaik demi
perdamaian dunia.
Sumber:
http://www.kompasiana.com/mr_ded/rohingya-sebuah-tinjauan-sejarah-atas-konflik-yang-berkepanjangan_55602aa699937379578b4581#
http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/1969/6/Derita.Rohingya#
http://en.wikipedia.org/wiki/Rohingya_people#
http://asianhistory.about.com/od/Asian_History_Terms_N_Q/g/Who-Are-The-Rohingya.html#
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2015/05/150522_dunia_myanmar_exodus#
Opini tanggapan,analisis,solusi, dll dari
setiap anggota kelompok
Angelika Selin. A
ð
Menurut saya, semua orang berhak untuk bebas memeluk agama atau pun
keyakinan asalkan mereka dapat menjalankan agama/keyakinan tersebut dengan
sungguh-sungguh. Pemerintah Myanmar tidak melakukan hal-hal yang keji pada kaum
Rohingya karena pada dasarnya kita memiliki hak dan martabat yang sama sebagai
manusia. Kasus tersebut telah melanggar aturan UUD pasal 28A ; hak untuk hidup
dan mempertahankan kehidupannya, pasal 28D ; hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum, pasal 28E ; hak bebas untuk memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, tinggal, meninggalkan, dan berhak untuk kembali
ke wilayahnya,pasal 28H ; hak untuk sejahtera lahir & batin, serta bertempat tinggal, pasal 28I ;
hak untuk tidak di siksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak di perbudak.
Felicia Chandra
ð
Menurut saya, seharusnya pemerintah Myanmar tidak mendeskiminasi dan
melakukan hal sekeji itu pada kaum Rohignya karena dimata hukum dam tuhan kita
semua sama.
Gabriela Christiani
ð
Menurut saya, seharusnya Myanmar bisa bertoleransi antar umat beragama,
baik agama Buddha maupun muslim karena setiap agama mengajarkan kebaikan. Kita
sebagai manusia juga memiliki hak untuk tidak di asingkan, di siksa, dan di
beri keadilan. Seharusnya pemerintah Myanmar tidak boleh melakukan itu karena
hal itu tidak benar, baik dilihat dari segi hukum maupun agama.
Levina Agnesia
ð
Menurut saya, setiap orang itu memiliki hak yang sama yaitu sama halnya
dengan kasus rohingya dimana banyak orang-orang yang berbeda agama maupun
keyakinan tetapi karena berbeda keyakinan inilah yang membuat kaum rohingya di
tindas dan tidak di akui. Seharusnya pemerintah bersikap adil terhadap kaum
rohigya yang berbeda agama karena mereka juga memiliki hak yang sama dengan
kita sebagai umat Allah bukan malah mengusingkan mereka yang tidak bersalah.
Metta Phannadhika
Menurut saya, seharusnya pemerintah
Myanmar menunjukan rasa saling menghargai antar umat beragama bukannya ingin
mengucilkan masyarakat yang berbeda agama bukannya ingin mengucilkan masyarakat
yang berbeda dengan dirinya. Semua agama mengajarkan kebaikan tetapi mereka
tidak mencontohkan demikian. Walaupun mayoritas umatnya beragama Buddha tetapi
mereka harus saling toleran antara umat muslim disana bukan malah membinasakan
mereka yang tak bersalah