Disusun Oleh
Kelompok 2 XI IPS 3 SMA XAVERIUS 1 PALEMBANG
Kelompok 2 XI IPS 3 SMA XAVERIUS 1 PALEMBANG
Alexander Wijaya (01)
Angelina Citra (03)
Jason Gorga Simanjuntak (13)
Laura Sunardi (15)
Melvin Cardinally Kosim (19)
Link Youtube:https://youtu.be/ RiVc6bO_qT0
Awal Mula Peristiwa, kejadian berdarah Tanjung Priok dipicu oleh tindakan provokatif tentara
Pada
pertengahan tahun 1984, beredar isu tentang RUU organisasi sosial
yang mengharuskan penerimaan azas tunggal. Hal ini menimbulkan
implikasi yang luas. Diantara pengunjung masjid di daerah ini,
terdapat seorang mubaligh yang terkenal, menyampaikan ceramah pada
jama'ahnya dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab
Rancangan Undang-Undang tsb sudah lama menjadi masalah yang
kontroversial.Pada tanggal 7 September 1984, seorang Babinsa beragama
Katholik sersan satu Harmanu datang ke musholla kecil yang bernama
"Musholla As-sa'adah" dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang
berisi tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin pada masa itu, dan
disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang.Tak
heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah melihat tingkah laku
Babinsa itu. pada hari berikutnya Babinsa itu datang lagi beserta
rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya sudah dijalankan apa
belum. Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang menyatakan,
kalau militer telah menghina kehormatan tempat suci karena masuk
mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di
musholla dengan air comberan.
Kronologi Pembantaian
Sebagai
seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia
mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok.Berikut adalah petikan
kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12
September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul "Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia".
Sabtu, 8 September 1984
Dua
orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki
Mushala as-Sa'adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air
got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian
remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.
Ahad, 9 September 1984
Peristiwa
hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa'adah menjadi
pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk
menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.
Senin, 10 September 1984
Beberapa
anggota jamaah Mushala as-Sa'adah berpapasan dengan salah seorang
petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran
mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul
Makmur yang kebetulan lewat yaitu Syarifuddin Rmbe dan Sofyan Sulaiman
dua orang takmir masjid "Baitul Makmur" yang berdekatan dengan
Musholla As-sa'adah, berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke
dua tentara itu masuk ke dalam sekretarit takmir mesjid untuk
membicarakan masalah yang sedang hangat.Ketika mereka sedang berbicara
di depan kantor, massa diluar sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir
masjid itu menyarankan kepada kedua tentara tadi supaya persoalaan
disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak saran
tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya.Sementara
usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung
jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu tiba-tiba saja
menarik salah satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata seorang
marinir dan membakarnya. Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan
Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan.Turut
ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-sa'adah dan satu orang
lagi yang saat itu berada di tempat kejadian, selanjutnya Mohammad
Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan empat orang
tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian
memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap
tadi.Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah
tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang
jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa'adah tersebut.
Selasa, 11 September 1984
Pada
tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya itu
datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki,
karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta.
Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan.
Sudah sering kali Amir Biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan
pihak militer.Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk
meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang
diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu
mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah
orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi
penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat.
Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata tidak berhasil dan
sia-sia.
Rabu, 12 September 1984
Dalam
suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di
Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa
Mushala as-Sa'adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak
termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah
mau naik mimbar.Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian
di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik
mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan
pidato itu, Amir Biki berkata antara lain,"Mari kita buktikan
solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim.
Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak
bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita
menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus
memprotesnya."Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang
isinya mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul
23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa
untuk melakukan demonstrasi.Selanjutnya, Amir Biki berkata, "Kita tidak
boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah
perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dari
jamaah kita)."Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang
demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat. Pada
waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres
dan sebagian menuju Kodim.
Kelompok Yang Menuju Polres
Setelah
sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah
dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis
dengan senjata otomatis di tangan. Massa demonstran berhadapan langsung
dengan pasukan tentara yang siap tempur.Pada saat pasukan mulai
memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari
segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar mereka
hanya duduk-duduk sambil mengumandankan takbir.Sesampainya jamaah
pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak,
"Mundur-mundur!" Teriakan "mundur-mundur" itu disambut oleh jamaah
dengan pekik, "Allahu Akbar! Allahu Akbar!"Saat itu militer mundur dua
langkah, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan,
lalu diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya
ke arah demonstran, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan
sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama
kurang lebih tiga puluh menit!Jamaah pengajian lalu bergelimpangan
sambil menjerit histeris, tersungkur berlumuran
darah. Beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada! Disaat para
demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, pada
saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi.Malahan ada
anggota militer yang berteriak, "Bangsat! Pelurunya habis.
Anjing-anjing ini masih banyak!" Lebih sadis lagi, mereka yang belum
mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi
sampai mati.Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari arah
pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di
jalan. Dia buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan
tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu
dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para
jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir
jalan.Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah
pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah
tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir
dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut.Jeritan dan
bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar
jelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di
got-got/selokan-selokan di sisi jalan.Dari atas truk tentara dengan
membabi buta masih menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan
dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah mati bersimbah darah.
Sedang beberapa korban yang terluka tidak begitu parah berusaha lari
menyelamatkan diri
berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.Setelah itu, truk-truk
besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untukmengambil
mayat-mayat yang bergelimpangan dan melemparkannya ke dalam truk
bagaikan melempar karung goni.Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh
mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun
bagaikan karung goni. Sembari para tentara mengusung korban-korban yang
mati dan terluka ke dalam truk militer, masih saja terdengar suara
tembakan tanpa henti.Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di
Jakarta, sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras
menerima korban penembakan Tanjung Priok.Sesudah mobil truk besar yang
penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian
datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas
menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya,
sampai bersih.
Kelompok Yang Menuju Kodim
Sementara
itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung
oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah
pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan
yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah
pengajian itu, di antaranya Amir Biki.Begitu jaraknya kira-kira 7
meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu
diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer
yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur
menggelepar-gelepar.Melihat
kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil
duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi
disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian
jatuh tersungkur menjadi syahid.
Saksimata
Menurut ingatan salah satu
saksi yang belum tewas bernama Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu
dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40
mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot
Subroto (dahulu RSPAD).Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu
langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron.
Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat,
saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang
dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat
lain.Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok
tidak terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB
Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak
Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa
pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin.Hal
ini terjadi karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya
diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat
berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel
Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di
Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan,
disebabkan membakar motor petugas.Bahkan, menurut petugas-petugas satgas
Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984,
menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00
pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.Pemerintah
menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah itu. Lewat
panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas
sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak
(SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas
mencapai 400 orang. Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer
mengalami berbagai macam penyiksaan. Dan Amir Biki sendiri adalah
salah satu korban yang tewas diberondong peluru tentara.
Proses Hukum
Hingga
hari ini tak ada keadilan yang diberikan bagi korban yang dulunya
ditembaki, ditangkap semena-mena, ditahan secara sewenang-wenang,
disiksa, dihilangkan, distigma dan harta bendanya dirampas serta hak
atas pekerjaan dan pendidikannya dirampas.Masih terang diingatan korban,
bagaimana pada tahun 2006 Mahkamah Agung memperagakan parade
pembebasan hukum (Impunitas secara De Jure)
terhadap sejumlah nama yang seharusnya bertanggung jawab; Sriyanto,
Pranowo, Sutrisno Mascung dan RA. Butar-Butar.Kegagalan Peradilan HAM
untuk menghukum sesungguhnya telah tergambar dari buruknya kinerja
Penuntut Umum.Selain menghapus nama (Alm.) LB Moerdani dan Try Sutrisno
dalam proses penyidikan, Kejaksaan Agung justru membuktikan kejahatan
luar biasa (Extra Ordinary Crime) pada kasus Tanjung Priok dengan sistem pidana umum (Ordinary Crime)
yang berbasis pada KUHAP.Kegagalan lain diakibatkan oleh persoalan
politik bahwa tidak adanya jaminan dari otoritas negara dalam mendukung
administratif atas kerja Pengadilan HAM atas kasus Tanjung Priok.
Selain itu Pemerintah tidak menyiapkan sistem perlindungan saksi yang
memadai. Sementara, di pengadilan, Hakim membiarkan upaya
sogok-menyogok terjadi antara pelaku dengan sejumlah saksi untuk
mencabut kesaksian.Pengadilan HAM bukan hanya gagal memberikan
kepastian hukum berupa penghukuman terhadap para pelaku dalam kasus
Tanjung Priok, Pengadilan Juga gagal memberikan kebenaran yang sejati
atas kasus Tanjung Priok serta gagal menjamin kepastian reparasi
(Perbaikan) atas penderitaan dan kerugian para korban Kasus Tanjung
Priok 1984.Banyak diantara para korban yang masih mempertanyakan
keberadaan keluarganya yang masih hilang. Banyak diantara para korban
yang sampai hari ini harus menanggung biaya pengobatan akibat atau
efek dari kekerasan yang dialami pada 12 September 1984 atau
kekerasan-kekerasan berikutnya.Banyak diantara para korban yang harus
kehilangan tempat usaha atau pekerjaannya akibat dirampas atau
distigmatisasi sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan.Demikian pula
para korban yang masih anak-anak, tidak bisa melanjutkan sekolahnya.
Atau anak-anak korban yang kehilangan ayah atau kakaknya yang
diharapkan menjadi penopang ekonomi.Usaha pun tetap dilakukan oleh
para korban lewat Pengadilan Negeri pada 28 Februari 2007 menuntut
Pemerintah mengeluarkan dana kompensasi bagi korban. Namun, lagi-lagi,
Hakim tunggal Martini Marjan menolak mentah-mentah permohonan
Penetapan Kompensasi para korban dengan alasan tidak ada pelanggaran
berat HAM dalam kasus Tanjung Priok 1984.Jelas bahwa Hakim tunggal
Martini Marjan Menegasikan fakta, penderitaan dan kerugian yang telah
dihadirkan dalam persidangan Penetapan di PN Jakarta Pusat.Sampai saat
ini Mahkamah Agung belum memutuskan kasasi yang telah diajukan sejak 5
Maret 2007.Dewi Wardah isteri Amir Biki, setia untuk tetap
memperjuangkan keadilan terhadap kasus terbunuhnya sang suami, Amir
Biki.
Pada
tahun 1984 itu, jelas korban telah dikorbankan oleh kebijakan anti
kritik Soeharto dan brutalitas aparat keamanan. Pada era transisi
politik, setelah belas… bahkan puluhan tahun upaya koreksi pun tetap
didominasi oleh pelaku. Tidak ada yang dihukum, tidak ada perbaikan
kondisi korban bahkan tidak diakui adanya pelanggaran berat
HAM.Masyarakat terus dikorbankan dari perilaku kekerasan, menjadi korban
sistem peradilan yang tidak adil dan jujur. Transisi politik tidak
digunakan untuk mengambil pelajaran dari kegagalan dimasa lalu,
sebagaimana yang terjadi pada kasus Tanjung Priok.Akan tetapi keluarga
korban tidak pernah lupa dan akan tetap menuntut pertanggung jawaban
pemerintah atas keadilan, kebenaran, maupun reparasi.
Sumber:
TANGGAPAN KELOMPOK:
Alexander Wijaya:Tidak adanya keadilan untuk rakyat kecil,Pemerintahnya yang bertindak sewenang-wenang yang mengakibatkan banyak orang protes dan akhirnya terjadi kerusuhan.
Alexander Wijaya:Tidak adanya keadilan untuk rakyat kecil,Pemerintahnya yang bertindak sewenang-wenang yang mengakibatkan banyak orang protes dan akhirnya terjadi kerusuhan.
Angelina Citra:.Peristiwa
ini benar-benar perbuatan keji yang sangat merugikan orang
banyak.Sebaiknya kejadian seperti ini tidak terulang kembali agar
bangsa dan negara kita benar-benar bersatu seperti semboyan kita.
Jason Gorga: kerusuhan yang dilakukan oleh kelompok Amir Biki dkk, berhasil dipadamkan dalam waktu yang singkat. Peristiwa ini telah menelan korban, termasuk Amir Biki, salah satu tokoh dari kelompok maysarakat tersebut.
Laura
Sunardi:Pemerintah seharusnya memberikan keadilan kepada keluarga
korban dan masyarakat agar diberikan kompensasi yang setimpal dengan
perbuatan para militer tersebut.
Melvin
C.K.:Pemerintah harus benar-benar menetapkan dan memaksa masyarakat
agar mematuhi Pancasila dan bhineka tunggal ika sehingga tidak terjadi
perpecahan,pembantaian,maupun peperangan di Indonesia.