Disusun Oleh
Kelompok 1 Kelas XI IPS 2 SMA Xaverius 1
Palembang
Nama Anggota :
1. Adelia Anggraini (01)
2. Bernadetta Ajeng Maharani(04)
3. Christoper Arga (09)
4. Felicia Lauretta Angeline (13)
5. M. Rizky. Salahuddin (22)
6. Steven Muliawan (32)
Pembahasan
Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa
Timur, 8 Desember 1965 – meninggal di Jakarta di dalam pesawat jurusan ke
Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun) adalah seorang aktivis HAM
Indonesia keturunan Arab-Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur
Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat
Dewan Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang
yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi
korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan
itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya
para anggota tim Mawar.
Jenazah Munir dimakamkan di Taman
Pemakaman Umum Kota Batu.
Istrinya Munir, Suciawati, bersama
aktivis HAM lainnya terus menuntut pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan
ini.
Kronolologi Kejadian
Munir Said Thalib, akan melanjutkan
studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda pukul 21.30
WIB. Melalui pengeras suara, seluruh penumpang pesawat Garuda Indonesia nomor
penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam dipersilakan petugas bendara naik ke
pesawat.
Rombongan orang kulit putih bergegas,
banyak dari mereka adalah warga Negara Belanda. Saat akan memasuki pintu
pesawat, Munir bertemu Pollycarpus Budihari Priyanto, Pilot Garuda yang biasa
disebut Polly. Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew, yaitu kru
yang terbang sebagai penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain. Mereka
bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis. Sebagai penumpang kelas ekonomi,
Munir sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui
pintu belakang. Diawali percakapan dengan Polly, Munir berakhir di tempat duduk
kelas bisnis, nomor 3K. Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik
Munir adalah 40G. Polly selanjutnya naik ke kokpit di lantai dua untuk
bersalaman dan mengobrol dengan awak kokpit yang bertugas. Saat pesawat mundur
dan siap tinggal landas, Polly diperselakan oleh purser Brahmanie untuk duduk
di kelas premium karena banyak yang kosong di kelompok termahal itu. Purser
adalah pimpinan kabin yang bertanggung jawab atas kenyamanan seluruh penumpang
termasuk perpindahan tempat duduk mereka. Lelaki berseragam pilot kemeja putih
dan celana biru dongker itu pun duduk.
Ada dua cerita tentang perpindahan Munir
ke kelas bisnis itu, yaitu menurut kisah Brahmanie dan Polly. Dalam sidang PN
Jakarta Pusat, Brahmanie bersaksi, "Saat sedang di depan toilet bisnis,
saya berpapasan dengan Saudara Polly. Lalu, Saudara Polly, sambil memegang
boarding pass warna hijau, bertanya 'Mbak nomor 40G di mana? Mbak, saya
bertukar tempat dengan teman saya' tanpa menyebutkan nama temannya. Karena nama
temannya tidak disebutkan, saya ingin tahu siapa teman Saudara Polly. Lalu,
saya datangi nomor 3K, dan ternyata yang duduk di sana Saudara Munir, yang lalu
saya salami. Saudara Polly tidak duduk di 40G, tapi di premium class nomor 11B
atas anjuran saya karena banyak tempat duduk yang kosong."Sementara
itu,dalam wawancara di Lembaga Permasyarakatan (LP) Cipinang, Polly bercerita,
"Saya ketemu Munir di pintu pesawat Garuda Indonesia, di bandara Jakarta.
Dia tanya di pintu bisnis, 'Tempat duduk ini di mana?' Saya bilang, 'Wah, bapak
ini duduknya yang mana saya tidak hafal.' Kemudian, itu kan antre, ada banyak
penumpang lain mau masuk, saya persilakan duluan. Saya sebagai kru lebih baik
ngalah, toh sama-sama naik pesawat, nggak mungkin ditinggal. Setelah itu,
karena saya mau masuk ke ruang bisnis, mau melangkah ke dalam pesawat, saya
bilang kepada Munir, 'Saya duduk di bisnis, kalau bapak mau di sini, ya Bapak
nanya dulu sama pimpinan kabin, kalu diizinkan, ya silakan, bila tidak ya mohon
maaf.' Bahasa saya seperti itu. Sudah, itu saja." Sebelum pesawat tinggal
landas, di kelas bisnis, Yeti Susmiarti menyajikan welcome drink. Penumpang
diminta mengambil gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus apel. Munir
memilih jus jeruk. Selesai minuman pembuka, pramugari senior itu membagikan
sauna towel (handuk panas), yang bisa digunakan untuk mengelap tangan, lalu
memberikan surat kabar kepada penumpang yang ingin membacanya. Semua layanan
itu disajikan Yeti sendiri, dengan bantuan Oedi Irianto, pramugara senior, yang
menyiapkan segala keperluannya di pantry. Pukul 22.02 WIB pesawat yang
dikendalikan Kapten Pilot Muhammad Taufik itu tinggal landas. Untuk mengukur
waktu tinggal landas dan mendarat secara tepat, industri penerbangan
menggunakan istilah block off dan block on. Block off adalah waktu yang
menunjukkan saat ganjal roda pesawat di bandara dilepas dan pesawat mulai
bergerak untuk terbang. Block on digunakan sebagai penanda waktu kedatangan
pesawat di bandara tujuan, yaitu saat ganjal roda pesawat dipasang.
Sekitar 15 menit setelah tinggal landas,
pramugari menawarkan beberapa pilihan makanan dalam kemasan yang masih panas di
atas nampan. Di kursi 3K, Munir memilih mi goreng. Selesai mi, Yeti kembali
memberi tawaran minuman, kali ini lebih banyak pilihan daripada welcome drink.
Pilihannya adalah minuman beralkohol (wiski, gin, wine, white whine, dan bir),
soft drink, jus apel serta jus jeruk. Buavita, jus apel serta jus jeruk
Buavita, jus tomat, susu putih Ultra, air mineral Aqua, teh, dan kopi. Munir
kembali memilih jus jeruk. Setelah mengarungi langit Pulau Jawa, Sumatera, dan
laut di sekitarnya selama 1 jam 38 menit, pesawatr GA 974 mendarat di Bandara
Changi, Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Zona waktu Singapura satu jam
lebih awal ketimbang WIB. Awak kabin memberi penumpang waktu untuk jalan-jalan
atau kegiatan apa saja di Bandara Changi selama 45 menit.
Karena keluar dari pintu bisnis, Munir
pun lebih cepat mencapai Coffe Bean dibanding jika keluar dari pintu ekonomi.
Usai singgah di kedai itu, dia kembali menuju ke pesawat melalui gerbang D. Di
perjalanan menuju pintu Garuda, dia disapa oleh seorang laki-laki. "Anda
Pak Munir, ya?" "Iya Pak." "Saya dr.Tarmizi dari Rumah
Sakit Harapan Kita. Pak Munir ngapain ke Belanda?" "Saya mau belajar.
Mau nge-chargesatu tahun." "Di mana?" "Utrecht."
"Wah Indonesia kehilangan, dong. Anda kan orang penting?" komentar
dr. Tarmizi. "Ya ini perlu untuk saya, Pak." timpal Munir sambil
tersenyum. "Anda kan pernah nulis tentang Aceh. Bagaimana sih, bisa beres
nggak tuh?" tanya dokterlagi, sambil keduanya berjalan. "Ah, itu
tergantung niat, kok." "Maksudnya?" "Kalau niatnya
membereskan, tiga bulan juga beres." Kemudian, dokter kelahiran Sumatera
Barat itu mengeluarkan dompet dan memberi Munir kartu namanya sambil berkata,
"Kapan-kapan, bila perlu, silakan menghubungi saya." Munir menerima
kartu nama dr. Tarmizi Hakim, lalu keduanya berpisah. Si dokter masuk ke kelas
bisnis, Munir menuju pintu bagian belakang pesawat dan duduk di kursi 40G kelas
ekonomi, sebagaimana tercantum di boarding passnya. Karena Polly hanya sampai
Singapura, Munir pun kembali ke tempat duduk aslinya untuk penerbangan
Singapura-Amsterdam. Total waktu transit di Changi (antara block on dan block
off) adalah 1 jam 13 menit, jumlah waktu yang digunakan pesawat untuk pengisian
bahan bakar, penggantian seluruh awak kokpit dan kabin, sertapenambahan penumpang
dari Singapura.
Pesawat tinggal landas dari Changi pukul
01.53 waktu setempat. Penerbangan menuju Schipol ini dipimpin oleh Kapten
Pantun Matondang, dengan purser Madjib Nasution sebagai penanggung jawab
pelayanan penumpang. Sebelum pesawat mengangkasa, pramugari Tia mengecek
persiapan penumpang untuk tinggal landas. Saat melakukan kewajibannya, dia
dipanggil oleh Munir yang meminta obar promag. Pramugari bernama lengkap Tia
Dewi Ambara itu meminta Munir menunggu sebentar karena pesawat akan tinggal landas
dan seluruh awak kabin harus duduk di tempat masing-masing. Kira-kira 15 menit
kemudian, setelah pesawat di ketinggian aman, Tia mulai membagikan selimut dan
earphone, dilanjutkan dengan makanan pengantar tidur. Saat Tia sampai di 40G,
lelaki berkaus abu-abu dan bercelana jins hitam itu sedang tidur. Tia
membangunkannya dan bertanya, "Apa Bapak sudah dapat obat dari teman
saya?" "Belum." "Maaf kami tidak punya obat." Tia lalu
menawarkan makanan, yang ditolak oleh Munir. Namun, lelaki ini meminta teh hangat.
Tia pun menyajikan teh panas yang dituangkan dari teko ke gelas di atas troli.
Munir menerima uluran minuman itu, lengkap dengan gula 1 sachet. Ketika Tia
melanjutkan melayani penumpang lain, Munir melewatinya di gang menuju toilet.
Ini kali pertama Munir pergi ke toilet, sekitar 30 menit setelah tinggal
landas.
Tiga jam sudah pesawat besar itu terbang
dan sedang berada di langit India saat Munir semakin sering pergi ke toilet.
Ketika berjalan di gang kabin yang hanya diterangi oleh lampu baca, dia
berpapasan dengan pramugara Bondan Hernawa. Dia mengeluhkan sakit perut dan
muntaber kepada Bondan, serta memintanya memanggilkan dr. Tarmizi yang duduk di
kelas bisnis. Munir juga memberinya kartu nama dokter itu. Sesuai prosedur
untuk situasi semacam ini, Bondan pun melapor kepada purser Madjib Nasution
yang berada di Purser Station. "Bang, ini Pak Munir penumpang kita sakit.
Buang-buang air, muntah-muntah. Ini ada kawannya, dokter, tapi saya tidak tahu
duduk di mana. Tolong carikan tempat duduknya," ujar Bondan sambil
menyerahkan kartu nama dr. Tarmizi. Madjib mencari penumpang atas nama dr.
Tarmizi Hakim di Passenger Manifest dan menemukannya di kursi nomor 1J. Belum
sempat dia beranjak, Munir sudah berada di depan Purser Station. Sambil
memegangi perut, Munir berkata, "Saya sudah buang-buang air, pakai muntah
juga. Mungkin maag saya kambuh. Seharusnya tadi tidak minum jeruk waktu dari
Jakarta-Singapura." Munir pun melanjutkan perjalanannya ke toilet. Madjib
dan Bondan lalu mendatangi 1J dan mendapati dr. Tarmizi sedang tidur di 1K,
kursi sebelah kanannya yang karena dekat jendela dan dia dapati kosong, lalu
dia duduki. "Dokter, Dokter....," Madjib berusaha membangunkan.
Keduanya mengulanginya beberapa kali dengan suara lebih keras, tapi tidur
dokter bedah itu tetap tak terusik. Madjib kembali berjumpa Munir di gang dan
memintanya membangunkan dr. Tarmizi sendiri, sementara Bondan pergi ke pantry
untuk melaksanakan tugas terjadwalnya. Akhirnya dr. Tarmizi bangun. Munir
menjelaskan kondisi tubuhnya yang saat itu tampak sangat lemah dan berkata,
"Saya sudah muntah dan buang air besar enam kali sejak terbang dari
Singapura." dr. Tarmizi mengusulkan kepada Madjib supaya Munir pindah
tempat duduk ke nomor 4 karena tempat itu kosong dan dekat dengannya. Munir pun
duduk di kursi 4D. Dr. Tarmizi mengambil posisi di samping kirinya. "Pak
Munir makan apa saja dua hari terakhir ini?" tanya dokter spesialis bedah
toraks kardiovaskular itu. Munir hanya diam, mungkin akibat nyeri perutnya.
Pertanyaan itu disambut oleh Madjib, "Pak Munir tadi sempat minum air
jeruk, padahal Pak Munir tidak kuat minum jeruk karena punya maag." Munir
tetap diam, tidak berkomentar. "Kalau maag tidak begini," kata si
dokter, yang lalu bertanya kepada Munir, "Anda makan apa?"
"Biasa saja." "Kemarin?" "Biasa saja."
"Kemarinnya lagi?" "Biasa saja." Dokter itu melakukan
pemeriksaan secara umum dengan membuka baju pasiennya. Dia lalu mendapati nadi
di pergelangan tangan Munir lemah. Dokter berpendapat Munir menunjukkan gejala
kekurangan cairan akibat muntaber.
Munir kembali lagi ke toilet, diikuti
dokter, pramugara, dan pramugari. Setelah muntah dan buang air, dia pulang ke
kursi 4D, sambil terus batuk-batuk berat. Dr. Tarmizi meminta seorang pramugari
mengambilkan Doctor's Emergency Kit yang dimiliki pesawat terbang. Kotak itu
dalam keadaan tersegel. Setelah melihat isinya, dia berpendapat obat yang
tersedia sangat minim, terutama untuk kebutuhan Munir. Dr. Tarmizi memerlukan
infus, tapi tidak ada. Tidak ada obat khusus untuk sakit perut mulas, juga obat
muntaberbiasa. Si dokter pun mengambil obat dari tasnya sendiri. Dia memberi
Munir obat diare New Diatabs serta obat mual dan perih kembung Zantacs dan
promag. Dua tablet untuk yang pertama dan masing-masing satu tablet untuk dua
terakhir. Dr. Tarmizi lalu meminta seorang pramugari membuatkan teh manis
dengan sedikit tambahan garam di dalamnya. Namun, lima menit setelah meminum
teh hangat itu, Munir kembali ke toilet. Munir rampung setelah lima menit dan
membuka pintu. Dr. Tarmizi lalu membimbing Munir berjalan menyusuri gang sambil
berkomentar kepada Purser Madjib, "Mengapa infus saja tidak ada, padahal
perjalanan sejauh ini?" Di kotak obat pesawat terdapat cairan Primperam,
obat antimual dan muntah, yang kemudian disuntikkan dr. Tarmizi ke tubuh Munir
sejumlah 5 ml (dosis 1 ampul). Injeksi di bahu kiri ini cukup berpengaruh
karena Munir kemudian tidur.
Penderitaannya reda selama 2-3 jam.
Munir bangun dan kembali masuk ke
toilet. Dia cukup lama berada di dalamnya, kira-kira 10 menit, dan pintunya pun
tidak tertutup dengan sempurna. Madjib memberanikan diri melongok lewat celah
yang ada dan mengetuk pintu, tapi tidak ada respons dari orang yang sedang
menderita di dalam sana. Madjib membuka pintu lebih lebar dan melihat laki-laki
38 tahun itu sedang bersandar lemas di dinding toilet. Purser Madjib langsung
memanggil dokter yang selama setengah jam terakhir paling tahu kondisi
penumpangnya itu. Dr. Tarmizi mengajak Madjib dan pramugara Asep Rohman
mengangkat Munir kembali ke kursi 4D. Setelah didudukkan di kursi, Munir
menjalani pemeriksaan oleh dr. Tarmizi, dalam gelapnya kabin pesawat yang hanya
diterangi lampu baca. Kegelapan ini keadaan yang tak bisa mereka atasi sebab
demikianlah aturan penerbangan. Pertama pergelangan tangan, lalu perut. Saat
perutnya diketuk oleh si dokter, Munir mengeluh, "Aduh, sakit,"
sambil memegang perut bagian atas. Madjib menyarankannya untuk beristighfar,
disambut Munir dengan menyebutnya, "Astaghfirullah Haladzim La Ilaha Illa
Llah," sambil tetap memegangi perut. Pramugari Titik Murwati yang berada
di dekat situ berinisiatif memberi balsem gosok, tindakan yang dia harap bisa
membantu meredakan derita penumpangnya. Atas persetujuan dr. Tarmizi, Titik
menggosok perut Munir dengan balsem yang bisa memberikan rasa hangat. Munir
berkata dia ingin istirahat karena capek. Dr. Tarmizi membuka kotak obat lagi
dan mengambil obat suntik Diazepam. Kali ini, dokter menyuntikkan 5 mg di bahu
kanan, juga dengan bantuan purser Madjib. Jarak antara kedua suntikan sekitar
4-5 jam. Sesudah suntikan obat penenang itu, Munir masih merasakan mulas di
perut. Lima belas menit berlalu dan Munir ke toilet lagi, ditemani dokter,
purser, serta pramugari. Di dalamnya, Munir muntah, diikuti buang air. Kembali
ke tempat duduk, Munir berkata dirinya ingin tidur telentang. Purser dan
seorang anak buahnya membentangkan sebuah selimut sebagai alas di lantai depan
kursi 4D-E dan sebuah bantal di atasnya. Dia pun berbaring di sana, dengan dua
selimut lagi diletakkan di atas tubuhnya agar hangat. Dr. Tarmizi berkata
kepada awak kabin itu supaya Munir dijaga, dan bahwa dirinya ingin istirahat
karena besok kerja dia akan melakukan operasi jantung di rumah sakit di Swole,
sambil minta dibangunkan bila terjadi apa-apa dengan Munir. Juga, dia berpesan
agar mereka memastikan dokter dari Amsterdam yang besok masuk ke pesawat
membawa infus. Setelahnya, si dokter kembali ke kursi di 1K dan tidur. Munir
kembali bisa tidur, tapi sering berubah posisi, dan posisi itu selalu miring,
tidak pernah telentang atau tengkurap. Madjib terus setia menjaga Munir sampai
sekitar 3 jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, saat awak kabin
menyiapkan makan pagi penumpang. Madjib berjalan ke tempat duduk dr, Tarmizi
dan bertanya apakah perlu dirinya membangunkan Munir untuk sarapan, yang
dijawab dengan anjuran untuk membiarkan Munir tetap istirahat. Madjib pun
melakukan tugas rutinnya mengawasi lingkungan pesawat.
Sekitar dua jam sebelum pesawat
mendarat, jam 05.10 GMT atau 12.10 WIB, ketika sarapan masih berlangsung dan
lampu kabin masih menyala, Madjib kembali melangkahkan kaki mengunjungi
"tempat tidur" Munir. Di depan kursi 4D-E, dia melihat tubuh Munir
dalam posisi miring menghadap kursi, milutnya mengeluarkan air liur tidak
berbusa, dan telapak tangannya membiru. Dia memegang tangan Munir dan mendapati
rasa dingin. Madjib yang kaget bergegas menuju kursi sang dokter. Dokter
memegang pergelangan tangan Munir sambil enepuk-nepuk punggung. Dia
berulang-ulang berujar, "Pak Munir... Pak Munir...," Akhirnya,
memandang purser Madjib, dr. Tarmizi berkata pelan, "Purser, Pak Munir
meninggal... Kok secepat ini, ya... Kalau cuma muntaber, manusia bisa tahan
tiga hari." Purser Madjib meminta Bondan dan Asep membantunya mengangkat
tubuh kaku Munir ke tempat yang lebih baik: Lantai depan kursi 4J-K. Munir
berbaring di atas dua lembar selimut, kedua matanya dipejamkan oleh Bondan.
Tubuhnya ditutupi selimut.
Bondan dan Asep membaca surat Yaasin di
depan jenazah Munir Said Thalib, empat puluh ribu kaki di atas tanah Rumania.
Pada tanggal 12 November 2004
dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Insitut Forensik Belanda) menemukan
jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh
polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada
yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus
Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan
terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang
sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan
pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Sutiarso menyatakan bahwa sebelum
pembunuhan, Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah agen
intelijen senior tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden
Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim
tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (Purn) Muchdi
Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum
Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan
Munir. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya. Namun demikian, pada
31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan
kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini
tengah diperiksa.
Sumber :
Pendapat Penyusun
1. Adelia
Menurut saya, kasus ini merupakan kasus
HAM yang berat atau kejahatan genosida dan benar-benar tidak memiliki jiwa
prikemanusiaan dan sudah melanggar Ham pasal 28i ayat 1 karena telah
menghilangkan nyawa, dan setiap orang berhak untuk hidup. Jadi seharusnya
pemerintah semakin tegas dalam menghadapi kasus - kasus yang berhubungan dengan
HAM agar kasus - kasus HAM tidak bermunculan lagi.
2. Bernadetta
Menurut saya, kasus ini merupakan kasus
HAM yang berat karena telah menghilangkan nyawa seseorang dan melanggar pasal
28i ayat 1 yaitu hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. seharusnya
pemerintah menyelidiki dan menindaklanjuti agar kasus ini terungkap.
3. Chirstopher Arga
Menurut saya, kasus Munir ini adalah
kasus yang sangat keji dan melanggar pasal 28i ayat 1. Yang kita tahu Munir
adalah seorang aktivis HAM. Ia rela membela orang yang haknya di dizolimi oleh
orang, tetapi ia malah dibunuh dengan cara yang tidak terduga olehnya dan
membuat kasus pembunuhannya sangat sulit untuk di temukan.
4. Felicia Lauretta Angeline
Menurut saya, kasus ini melanggar pasal
28i ayat 1 dalam UUD 1945, yang merupakan hak untuk hidup dan hak untuk tidak
disiksa. Hal ini disebabkan karena Munir diracuni terlebih dahulu dan secara
tidak langsung racun itu menyiksanya secara fisik selama berjam - jam tanpa
mendapatkan perawatan yang memadai di pesawat. Karena fisiknya melemah dan
sudah tidak kuat lagi, akhirnya ia pun meninggal karena dibunuh menggunakan
racun.
Kasus ini merupakan salah satu kas yang
menyedihkan dan tidak seharusnya beliau terbunuh hanya karena mengutarakan
pendapatnya yang sebenarnya, apalagi jika pendapat-pendapat tersebut telah
banyak menyelamatkan nyawa dan berhasil menegakkan keadilan. Keamanan dan
toleransi di Indonesia harus ditingkatkan agar kasus seperti ini tidak terulang
lagi kemudian hari. Semoga beliau dapat meninggal dengan damai dan diterima
disisi-Nya.
5 .M. Rizky. Salahuddin
Menurut saya kasus Munir merupakan kasus
yang sama dengan kasus peracunan Mirna, yang kita tahu munir adalah seorang
komunis HAM yang di bunuh dengan cara di racunin dan membuat kasus tersebut
lebih sulit dari pada kasus peracunan Mirna. Karena sebelum dibunuh Munir juga
disiksa secara tidak langsung dengan racun maka kasus ini melanggar 28i ayat 1.
6. Steven
Menurut saya kasus ini meupakan kasus
yang sangat berat dan melanggar pasal 28i ayat 1. Kasus ini harus di temukan
solusinya sehingga pelaku dapat tertangkap dan korban mendapatkan keadilan atas
yang telah menimpanya.